Oleh: Murodi, Arief Subhan, dan Study Rizal LK*
Gelombang perlawanan rakyat di Kabupaten Pati meledak menjadi sorotan nasional setelah ribuan warga turun ke jalan pada 13 Agustus 2025. Demonstrasi itu dipicu oleh kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen, sebuah kebijakan yang dinilai memberatkan di tengah situasi ekonomi masyarakat yang belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi. Beban hidup yang kian berat akibat harga pangan dan energi yang terus merangkak naik membuat keputusan ini terasa seperti pukulan tambahan yang tidak perlu.
Kemarahan rakyat memuncak setelah Bupati Pati, Sudewo, mengeluarkan pernyataan yang dianggap meremehkan aspirasi warganya. Ucapannya, “Silakan demo. Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 pun kerahkan. Saya tidak akan gentar,” bukan hanya menantang, tetapi juga menyiram bensin ke api yang sudah menyala. Tantangan itu dijawab dengan pengerahan massa yang mencapai sekitar seratus ribu orang, menjadikannya salah satu demonstrasi terbesar dalam sejarah Pati modern.
Aksi ini memperlihatkan solidaritas sosial yang jarang terlihat dalam skala sebesar ini. Dari petani, pedagang, nelayan, pelajar, hingga tokoh agama, semua menyatu dalam barisan. Posko-posko donasi logistik bermunculan di Alun-Alun Simpang Lima Pati, menerima aliran bantuan berupa air mineral, mie instan, telur, hingga perlengkapan aksi. Warga dari berbagai penjuru daerah membawa sumbangan dengan sukarela, membangkitkan kembali semangat gotong royong yang sudah menjadi identitas kultural masyarakat Pati.
Pati sendiri memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap pajak yang mencekik. Pada masa kolonial, wilayah ini berkali-kali menjadi arena perlawanan petani terhadap kebijakan tanam paksa dan pungutan yang memberatkan. Memori kolektif itu, meski telah melewati puluhan generasi, tetap hidup di bawah permukaan. Kini, kenaikan PBB yang dianggap sewenang-wenang memanggil kembali naluri perlawanan itu. Bagi banyak warga, ini bukan hanya soal angka atau nominal, melainkan simbol dari ketidakpekaan penguasa terhadap jeritan rakyatnya.
Fenomena perlawanan di Pati juga mencerminkan pola yang mulai menguat dalam gerakan sosial Indonesia pasca-reformasi. Seperti halnya protes nelayan di Batang dan Rembang terhadap proyek PLTU, atau gerakan petani Kendeng menolak tambang semen, aksi di Pati memperlihatkan bagaimana isu ekonomi dapat menjadi pemicu mobilisasi politik yang masif. Media sosial mempercepat proses ini—pesan, foto, dan video aksi menyebar cepat, memperluas simpati dan dukungan, bahkan dari luar daerah.
Secara sosiologis, yang terjadi di Pati adalah transformasi dari keluhan kolektif menjadi aksi kolektif yang terorganisir. Pernyataan bupati berfungsi sebagai katalis yang mengubah kemarahan tersembunyi menjadi gerakan terbuka. Jaringan komunitas lokal—mulai dari kelompok tani, forum warga, hingga jamaah masjid—menjadi infrastruktur sosial yang memudahkan koordinasi. Teknologi digital, pada gilirannya, memfasilitasi penyebaran narasi perlawanan dan memperkuat rasa persaudaraan di antara para demonstran.
Dampak politik dari peristiwa ini bisa signifikan. Demonstrasi sebesar ini berpotensi mengguncang legitimasi politik petahana, memunculkan tokoh-tokoh oposisi baru, dan mengubah dinamika Pilkada mendatang. Narasi “pajak mencekik” akan terus hidup dalam ingatan politik warga, menjadi tolok ukur bagi siapa pun yang ingin memimpin Pati di masa depan.
Pelajaran dari Pati jelas: legitimasi kekuasaan tidak dibangun dengan tantangan atau ancaman, melainkan dengan kemauan untuk mendengar dan memahami rakyat. Perlawanan ini bukan hanya soal menolak kebijakan pajak, tetapi juga menuntut kepemimpinan yang empatik dan berpihak. Dan sebagaimana yang sudah berulang kali ditunjukkan sejarah, ketika rakyat bersatu, bahkan kekuasaan yang paling kokoh pun dapat terguncang.
* Dosen MAS FDIKOM UIN Jakarta.