Majlis Ta’lim dan Jejaring Keilmuan Masyarakat Betawi

Oleh : Murodi al-Batawi

Dahulu, sebagian besar orang Betawi menolak sistem pendidikan Sekolah produk Belanda, seperti HIS, dan lain sebagainya. Mereka enggan menyekolahkan putra putri mereka ke HIS, Sekolah Dasar (SD), karena sekolah tersebut produk Belanda. Belanda adalah penjajah kafir, karena itu mereka tidak mau memasukkan anak-anak ke sekolah tersebut, khawatir jadi orang kafir.

Bacaan Lainnya

Masyarakat Betawi lebih suka memasukkan anak-anak mereka ke Madrasah, karena ia merupakan produk umat Islam, dan sudah barang tentu, mengajarkan materi keislaman. Hanya sedikit orang Betawi yang menyekolahkan anak mereka ke sekolah formal, seperti HIS dan kemudian SR (Sekolah Rakyat).

Karena itu, setelah Indonesia merdeka pada 1945, saat membutuhkan tenaga administrasi untuk mengurusi perkantoran pada kementerian dan lembaga, jarang ada orang Betawi yang bisa mengisi lowongan pekerjaan tersebut, hanya ada MH.Thamrin yang mampu mengisi kekosongan jabatan tersebut.

Berbeda dengan orang Jawa atau orang yang berasal dari daerah lain. Itu menurut hasil penelitian Jhon Ingelson dalam Indonesia di Persimpangan Jalan. Analisis Jhon ada benarnya juga. Sebab sangat jarang ada orang berpendidikan sekolah umum dari orang Betawi.

Mereka lebih suka belajar di Madrasah, sebagai lembaga pendidikan ideal saat itu. Baru memasuki tahun 50-an ada banyak orang Betawi yang mulai menyekolahkan anak mereka ke sekolah umum dan melahirkan generasi Betawi yang cerdas dan siap mengisi jabatan penting di pemerintahan, seperti Fauzi Bowo dan AM. Hendropriyono.

Meski begitu, kini sudah banyak orang Betawi cerdas, bahkan sudah banyak pula yang jadi profesor, seperti Prof. Yasmin Shihab, Prof. Sylviana Murni, Prof, Rugayah, Prof. Agus Suradika, Prof. Dailami Firdaus, dan lain-lain.

Namun ada hal yang ingin saya katakan di sini, bahwa dahulu masyarakat Betawi lebih cenderung memilih memasukkan anak mereka ke Madrasah, karena akan mendapatkan pendidikan agama dan umum. Jadi sesuai dengan keinginan orang tua mereka, anak-anak mereka akan selamat hidup di dunia dan akhirat.

Setelah mereka menyelesaikan pendidikan di Madrasah, mereka akan langsung dikirim ke pondok pesantren. Mereka ada yang mondok di pesantren Seblak, Cukir di Jombang, Sidogiri, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Pesantren Krapyak, Yogyakarta, pondok pesantren Cipadung, Tasik Malaya, dan Pesantren al-Masturiyah, Tipar, Jawa Barat.

Pondok Pesantren dan Jaringan keilmuan orang Betawi

Seperti ditegaskan pada bagian sebelumnya bahwa setelah merampungkan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI)anak-anak Betawi selalu dikirim ke pondok pesantren, tidak hanya di pondok pesantren yang ada di pulau Jawa, juga Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat. Mereka belajar di pondok pesantren antara empat sampai enam tahun, bahkan lebih.

Setelah itu, bagi kebanyakan orang tua berada, kemudian menyekolahkan anak mereka ke Mesir dan Timur Tengah lainnya. Mereka bersekolah ada yang cuma selesai Lc dan ada yang sampai Doktor(S3). Saat kuliah di Mesir, al-Jazair dan Maroko, serta Timur Tengah, mereka memperdalam ilmu agama. Dengan kemampuan berbahasa Arab yang kuat, mereka bisa, selain belajar langsung dari para Syeikh, mereka juga membaca sendiri kitab yang mereka pelajari dan mendiskusikannya dengan teman dan guru mereka saat belajar.

Setelah menyelesaikan studinya, ada yang kemudian melanjutkan ke jenjang berikutnya; ada yang melanjutkan studi S2 dan S3 ke Amerika, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Polandia dan Australia. Bagi mereka yang hanya menyelesaikan S1(LC), mereka kembali ke Indonesia dan melanjutkan studinya di tanah air, sambil mengajar Kitab Kuning pada Majlis Ta’lim di masjid yang memang sudah dipersiapkan orang tua mereka.

Kemudian dalam perkembangan berikutnya, pengajian yang mereka lakukan di masjid, lama kelamaan berkembang menjadi sebuah institusi terlembagakan, menjadi Majlis Ta’lim.

Majlis Ta’lim: Genuine Produk Model Pendidikan dan Pengajaran Betawi

Jika ada alumni Timur Tengah dan Mesir kembali ke tanah air Indonedia, bagi yang bergelar Doktor, mereka bisa mengajar di perguruan tinggi Islam, selain mengisi jadual pengajian di masjid dan Majlis Ta’lim. Kita yang mereka sjsrksn biasanya kitab standar, seperti Riyadushalihin, kitab Hadis karya Imam Nawawi. Pengajian ini diikuiti oleh para bapak dan ibu-ibu yang suka mengiuti pengajian.

Dalam struktur sosial masyarakat Betawi, para pengajar ilmu agama sering dahulu sering disebut Mu’allim, Guru atau Tuan Guru dan sebutan Dyeikh. Di Betawi belum dikenal nomenklatur Kyai. Seperti Mu’allim Abdullah Syafi’i, dan Mu’allim Syafi’i Hadzami. Penggunaan gelar Kyai setelah terpengaruh budaya Jawa, yang dibawa oleh para santri asli Betawi selesai mondok dari Jawa Timur stau Jawa Tengah.

Namun ada hal pasti yang ingin dikatalan di sini bahwa Majlis Ta’lim, yang semula berasal dati sebuah pengajian di masjid atau mushalla, kini sudah terlembagakan lewat BKMT (Badan Kontak Majlis Ta’lim) di bawah koordinasi almh. Ibu Prof, Dr. Hj, Tutty Alawiyah, putri alm Mu’allim Abdullah Syafi’i, dan FKMT(Forum Komunikasi Majlis Ta’lim) di bawah koordinsi Ibu Dr, Hj. Suryani Thahir, putri dari Mua’llim M. Thahir Rohili. Keduanya menjadi penjaga gawang Majlis Ta’lim, yang merupakan genuine produk Ulama Betawi.

Kedua organisasi ini mengalami transformasi yang luar biasa, dari semula hanya pengajian biasa yang diasuh oleh para santri alumni Madrasah dan alumni Timur Tengah dan Medir, menjadi sebuah aktifitas sosial keagamaan cukup besar dan menjadi incara para politisi dsn penguasa. Semoga ia tetap menjadi insitusi Dakwah yang terpelihara dari permainan politik para petualang politik dan kekuasaan, InsyaAllah. {Odie}.

Pamulang, 18 April 2024
Murodi al-Batawi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *