GERBANG BETAWI – Seorang penulis buku motivasi pernah menyebut dalam tulisannya: “Setiap kali Anda berterima kasih kepada orang lain atas apa pun yang dia katakan atau lakukan, harga dirinya akan semakin bertambah. Dia lebih menyukai dan menghormati diri sendiri. Dia merasa lebih bahagia. Dia lalu menjadi terbuka untuk melakukan lebih banyak hal yang membuat Anda senang, sehingga membuat Anda berterima kasih padanya lagi.” (Master Your Time, Master Your Life, Brian Tracy, hlm. 189)
Al-Qur’an dan hadist telah mengajarkan tentang pentingnya mengucapkan terima kasih, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia.
Meskipun terdengar mudah dilakukan, nyatanya tidak semua orang mampu melakukannya dengan baik dan sesuai adab. Pastinya, ucapan terima kasih harus diberikan dengan perasaan yang tulus dan ikhlas.
Mengucapkan terima kasih merupakan etika untuk memuliakan apa pun pemberian dari orang lain. Bahkan, orang yang mendapatkan pemberian tersebut dianjurkan untuk mendoakan pemberinya agar selalu diberkahi oleh Allah.
Rasulullah bersabda, “Tidaklah dianggap bersyukur kepada Allah seseorang yang tidak bersyukur kepada sesama manusia.”
Dilansir situs resmi Muhammadiyah, setidaknya, ada empat adab (cara) mensyukuri bantuan orang atau sesama manusia.
Pertama, dengan ber-“terima kasih”. Yaitu, di samping mengucapkan terima kasih kepada yang memberi, seseorang hendaknya setelah “terima” rela untuk “mengasihkan” kepada yang lain.
Kisah menarik terjadi ketika Umar ibn al-Khattab menghadiahkan makanan kesukaannya, gulai kepala kambing, kepada tetangganya. Rupanya, tetangga yang dianggap layak oleh Umar untuk menerima sedekah itu ingat dan ingin mengamalkan sebuah ayat dalam Al-Quran surat Ali-Imran: 92, “Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, hingga kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”.
Maka, kepala kambing siap saji itu dihadiahkan kepada tetangganya yang lain. Menariknya, masakan nikmat itu akhirnya berpindah sampai rumah ketujuh. Tanpa diketahui oleh tetangga-tetangganya itu, rumah ketujuh ini tahu jika makanan ini kesukaan Umar. Diantarkanlah masakan tersebut tanpa tahu bahwa kepala kambing itu berasal dari dapur rumah Umar. Akhirnya, masakan kepala kambing itu kembali lagi kepada pemiliknya, Umar ibn al-Khattab (HR. Al-Baihaqi dalam kitab Syuabul Iman: 3/259 dari Abdullah ibn Umar).
Dalam bahasa sederhana, bersyukur itu berterima kasih, meskipun makna “bersyukur” jauh lebih luas dari sekedar “berterima kasih”. Tetapi, setidaknya, begitulah salah satu cara mensyukuri pemberian orang lain. Apa yang dilakukan oleh Umar dan tetangganya menunjukkan mereka sebagai pribadi yang melimpah (giving oriented personality atau abundant personality).
Kedua, menggunakan pemberian orang lain sesuai dengan kehendak yang memberi. Saya ingat kakak saya Nur Salim di Blitar. Saat saya silaturrahim ke rumahnya, saya melihat ia memakai sajadah pemberian ayah saya pada 30 tahun yang silam. Ia bercerita bahwa “Sajadah Abah ini saya pakai setiap saya shalat malam dan shalat dzuha. Biar pahalanya terus mengalir.” Setahun yang lalu, saya diberi hadiah sajadah dari seorang dokter spesialis syaraf yang cantik salihah, dr. I’anatul Ulya, Sp.N. Atas inspirasi dari Kak Nur itu sajadah oleh-oleh umrah selama sebulan itu terus saya pakai sebagai bagian dari rasa syukur saya kepada yang memberi.
Jika pemberian itu berupa makanan, maka hendaklah didahulukan untuk dimakan dari makanan sendiri. Jika makanan kita sendiri berlebih dan tidak memungkinkan memakannya karena pantangan kesehatan atau yang lain, maka segeralah diberikan kepada orang lain. Meski kita tidak pernah memberi tahu kepada yang memberi tentang apa yang kita lakukan, namun Allah mengetahuinya. Dengan ijin-Nya, Yang Maha Pemberi Rejeki itu akan menambahkan nikmat-Nya kepada mereka yang mensyukuri pemberian orang lain.
Ketiga, pemberian itu merupakan sebuah penghormatan. Dalam Islam tidak ada istilah “balas jasa” atau “balas budi”. Tetapi, Islam mengajarkan agar membalas penghormatan, kemuliaan dan penghargaan itu dengan lebih baik.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. An-Nisa’: 86, “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” Jika tidak bisa, doakan saja. Mintakan ampun si pemberi itu kepada Allah.
Keempat, berdoalah untuk mereka yang memberi. Doamu akan menenangkan mereka (sakanun lahum).
Dalam QS. At-Taubah: 103, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” Salah satu doa yang makbul adalah doa di mana seseorang yang didoakan tidak tahu jika ia sedang didoakan. Wallahu a’lamu bi al-shawab.
Cara berterima kasih dengan benar dalam Islam perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ucapan terima kasih adalah bagian dari etika yang terpuji untuk menghargai jasa orang yang memberikan bantuan atau pertolongan.
Dalam Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah mengatakan, “Membalas jasa orang lain tergantung pada keadaannya. Bentuk balas budi kadang ada yang dengan memberi yang semisal atau lebih dari itu. Bentuk lainnya bisa pula dengan mendoakannya dan tidak suka bila dibalas dengan materi. Karena ada orang yang terpandang yang memiliki harta melimpah dan punya kedudukan yang mulia ketika ia memberi hadiah lalu dibalas dengan semisal, ia menganggap itu merendahkannya. Yang ia inginkan adalah doa, maka doakanlah ia. Terus doakan sampai yakin telah membalasnya. Di antara bentuk doanya adalah mengucapkan jazakallah khoiron (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan). Karena kalau didoakan dengan kebaikan, itu sudah menjadi kebahagiaan di dunia dan akhirat.”