Oleh: Murodi al-Batawi
Pergi haji sekarang sangat berbeda dengan pergi berangkat naik zaman dahulu. Jika zaman sekarang, umat Islam yang pergi berangkat naik haji, cukup 40 hari saja, dimulai dari bulan Dzulqa’dah dan selesai sekitar tanggal 13 atau 14 Dzulhijjah. Maka umat Islam Indonesia zaman dahulu, yang akan berangkat pergi haji memakan waktu sekitar 6 bulan ata lebih. Bahkan banyak juga di antara mereka yang pergi jauh sebelum datang bulan Ramadhan, dimulai sejak Rajab hingga datang bulan dzulhijjah. Hal itu terjadi karena perbedaan penggunaan sarana transportasi.
Dahulu, alat transportasi yang digunakan oleh para jama’ah calon haji adalah kapal atau perahu layar, menyeberangi samudera. Dari Jakarta melewati pulau Onrust di kepulauan Seribu, menuju Sumatera Barat, dan Aceh. Di Pulau Weh, Aceh, jama’ah calon haji singgah beberapa lama sambil menunggu keberangkatan selanjutnya. Karena seringnya para jama’ah calon haji singgah di pulau tersebut, maka kemudian Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah.
Kemudian, dari pulai Weh, mereka menuju Singapore, dan ada yang singgah sambil menunggu kedatangan jama’ah lain untuk diberangkatkan bareng menuju Sri Langka, India, Yaman dan terakhir sampai di Jedah.
Sambil menunggu keberangkatan para jama’ah calon haji, mereka tinggal sementara di negeri Singa tersebut. Ada juga sebagian di antara mereka yang tidak berangkat ke Mekkah Madinah, karena persoalan teknis. Karena itu, mereka tidak berani pulang ke kampung halaman dan mereka menunggu rombongannya kembali dari berhaji. Kemudian mereka pulang bareng bersama rombongan ke kampung halaman. Mereka ini yang dalam sejarah haji disebut sebagai Haji Singapore.
Itu terjadi saat alat transportasi menggunakan kapal layar . Jika menggunakan kapal mesin, dan itu terjadi pada 1920 an, sudah langsung berangkat dari Jakarta, menuju Jedah dan singgah beberapa saat di Aceh, Singapore, menuju Sri Langka, India, Yaman dan langsung ke Jedah, tanpa bermalam di tempat transit. Karena mereka tetap berada di dalam kapal mesin.
Sementara kalau zaman sekarang, alat transportasi yang digunakan, sejak tahun 1970 an adalah pesawat terbang yang hanya memakan waktu sekitar 9 jam saja. Jadi perjalanan menuju kota suci Haraman lebih cepat daripada menggunakan slat transportasi lama.
Berlayar untuk Berhaji
Dahulu, masyarakat Muslim Betawi dan mungkin juga masyarakat muslim Nusantara, jika mereka ingin berhaji, pasti menggunakan perahu layar. Perahu tersebut milik para saudagar kaya atau miliki Belanda atau milik asing lainnya.
Para jama’ah calon haji tersebut membayar uang transport untuk keberangkatan mereka menuju tanah suci. Mereka menggunakan perahu layar, karena mereka tahu bahwa para saudagar yang akan menjual barang komoditi hasil bumi khas Nusantara, yang akan dijual ke Eropa, pasti melewat pelabuhan Jedah. Karenanya, mereka rela ikut rombongan para pedagang hanya agar mereka sampai di kota duci Haramain, Makkah dan Madinah.
Kemudian, ketika mesin uap ditemukan oleh James Watt pada abad ke-19, peran perahu layar tergantikan dengan kapal uap berkapasitas besar. Terlebih setelah pada 1920 M kapal bermesin uap digantikan dengan kapal bermesin mesin berkapasitas dan berkemampuan besar. Sejak saat itu, perjalanan haji Nusantara memakan waktu pergi pulang secara total sekitar 6 bulan.
Pasca kemerdekaan, terutama pada era Orde Baru, sekira tahun 1971-an, perjalanan pergi haji mengalami perkembangan sangat signifikan, ketika pesawat udara dijadikan alat transportasi utama. Perjalanan haji hanya ditempuh sekitar 9 jam saja. Hal ini semakin mempermudah muslim Nusantara berhaji dan membuka peluang bagi travel haji dan umrah menawarkan perjalanan haji dengan berbagai fasilitas. Peluang itu juga dimanfaatkan muslim nusantara untuk mendaftarkan diri menjadi jama’ah calon haji. Kian hari, para pelamar jama’ah calon haji semakin bertambah, dan hingga kini terdapat banyak yang waiting list. Terlebih banyak aturan yang dikeluarkan pemerintah Arab Saudi terkait haji. Kian membuat daftar waiting list semakin panjang.
Yasinan dan Do’a Setiap Malam Jum’at
Setelah keberangkatan jama’ah calon haji ke Baitullah, hampir bisa dipastikan bahwa keluarga yang ditinggalkan di rumah akan selalu mengadakan acara selamatan berupa pembacaan yasin dan do’a untuk kesehatan dan keselamatan keluarga mereka sedang pergi haji. Dengan mengundang saudara dan tetangga, mereka membaca yasin dan berdo’a bersama, dimulai ba’da ‘Isya hingga selesai. Mereka secara ikhlas hadir dan berdo’a untuk kebaikan mereka yang sedang berhaji agar diberikan kesehatan dan keselamatan hingga kembali kumpul bersama keluarga. Tradisi ini terus dilakukan sampai keluarga mereka yang sedang berhaji, selamat sampai di rumah kembali berkumpul dengan keluarga.
Bercerita tentang perjalanan haji
Zaman dahulu, setelah para haji kembali ke rumah, mereka dikelilingi sanak keluarga dan handai tolan. Keluarga mereka, khususnya di Betawi, menyefiakan ruang khusus untuk tempat istirahat para haji tadi. Mereka didudukan di atas kasur di kelilingi keluarga besar. Merekka meminta agar para haji tersebut bercerita perjalanan haji mulai dari berangkat hingga saat perjalanan haji. Keluarga berkumpul mendengarkan kisah perjalanan haji tersebut dengan serius. Kisah itu semakin menarik ketika ada ustadz yang menjelaskan bahwa para tamu Allah yang baru pulang haji, selama 40 hari masih diikuti para malsikat. Mereka tidak dibenarkan pergi keluar meninggalkan tempat tinggal mereka. Karena itu, pra tetamu mereka sangat antusias setiap malam datang berkunjung hanya untuk mendengarkan kisah perjalanan haji tersebut.
Tradisi seperti ini, tampaknya, sudah tidak pernah terjadi dan diadakan lagi di komunitas masyarakat Betawi. Hal ini terjadi karena sudah terjadi perubahan tradisi dalam perayaan peringatan perjalanan haji Muslim Nusantara. Wallahu’alam(odie)
Pamulang,01 Juni 2024.
Murodi al-Batawi.