Anak Langgar

Oleh: Syamsul Yakin. Penulis Buku “Milir”

Nyaris semua langgar yang ada pada masyarkakat Betawi saat ini beralih nama menjadi mushalla. Kendati langgar dan mushalla hampir tiada beda. Tapi bagi orang Betawi langgar lebih memiliki sisi romantis dan idealis sekaligus. Semua orang Betawi mempunyai kenangan indah di langgar pada masa remaja. Mereka digembleng belajar ilmu agama di dalamnya. Selepas Covid 19, banyak mushalla yang menamakan diri sebagai masjid.

Sisi romantis sebuah langgar terletak pada keindahan bangunannya. Langgar tempo dulu tiang utama penyanggahnya terbuat dari kayu. Di kiri-kanan dipasang lampu tempel berbahan bakar minyak jarak. Posisinya sering kali berada di bibir sungai. Air sungai digunakan untuk mandi dan bersuci. Ketika adzan berkumandang mereka yang bekerja di sawah dan di kebun nanjat. Mereka datang bertelanjang dada dan bertudung caping dengan talinya yang melilit leher.

Kehidupan orang Betawi dikenal guyub. Kebersamaan mereka berlangsung dalam setiap shalat berjamaah di langgar dan pengajian-pengajian. Dalam sehari mereka berkumpul bersama-sama dua hingga tiga kali. Langgar adalah pemersatunya. Inilah pranata sosial-keagamaan yang digambarkan pernah roboh, yakni “Robohnya Surau Kami”. Surau di tanah Sumatera adalah langgar di tanah Betawi.

Semua anak remaja sebelum mereka belajar di kota atau bekerja di sana, pernah tidur di langgar. Langgar bagi anak Betawi dahulu kala adalah rumah kedua bagi mereka. Apalagi pada bulan puasa, langgar malah menjadi rumah pertama. Pada bulan puasa, langgar penuh sesak oleh orang taraweh, tadarusan, atau sekadar tidur-tiduran menunggu beduk maghrib bertalu. Beduk dan titir adalah alat komunikasi paling diandalkan pada masanya. Sayang belakangan beduk dibilang bid’ah.

Sisi idealis sebuah langgar bagi masyarakat Betawi adalah bahwa di langgar setiap anak Betawi harus bisa membaca al-Qur’an. Mereka belajar kitab fikih dasar. Mulai fikih bersuci, shalat, zakat, dan haji. Buku yang dijadikan pedoman adalah karya Sayyid Usman bin Yahya. Karangannya berbahasa Melayu dengan dialek Betawi. Sayyid Usman bin Yahya dikenal sebagai mutfi bagi orang Betawi.

Dahulu, di tanah Betawi para ahli agama kerap dipanggil mualim. Di bawahnya dipanggil ustadz. Yang mengajar di langgar adalah ustadz dan mualim. Di atas ustadz dan mualim, dari sisi keilmuan, ada mufti. Mufti adalah orang yang ahli hukum Islam dan berwenang memberi fatwa. Seorang mufti biasanya bekerja pada suatu lembaga pemerintah. Dia tidak mengajar di langgar. Namun seiring waktu mufti di tanah Betawi hampir tidak disebut-sebut lagi. Berbeda dengan mualim dan ustadz. Mulai 1990-an panggilah “kiyai” untuk mualim malah merebak di tanah Betawi.

Di langgar diajarkan juga ilmu tauhid seperti sifat dua puluh. Untuk memahaminya, sifat dua puluh ini didendangkan sehingga melekat di sanubari. Dendang sifat dua puluh ini berbahasa Melayu tinggi dan bernuansa sufistik. Di langgar anak-anak muda diajarkan juga manakib. Manakib adalah kisah hidup orang shaleh. Di antara manakib yang terkenal di tanah Betawi adalah Manakib Syaikh Abdul Muhyi. Namun sayang manakib ini nyaris tak terdengar lagi, seiring perubahan sosial dan pesatnya kemajuan zaman.

Pertanyaan yang memilukan adalah, mengapa langgar-langgar di tanah Betawi “roboh”? Lalu bagaimana cara mendirikannya kembali? Tentu di tengah dekadensi moral, langgar harus dibangun kembali. Terbukti bahwa para alumni langgar dikenal berakhlak mulia. Mereka jujur, adil, bertanggung jawab, baik hati, dan berani. Semua sikap dan perbuatan ini sekarang jadi barang langka.

Pada suatu episode di dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan (SDAS), Babeh Sabeni berteriak-teriak di hadapan istri dan anak-anaknya agar hidup itu harus jujur. Dengan nada tinggi Babeh Sabeni mengatakan dengan jujur hidup tidak hancur. Dalam kehidupan nyata, dapat diperkiraan Bunyamin Sueb adalah assembling langgar pada masanya, sebelum merambah ke dunia seni suara dan seni peran. Dalam konteks ini, dapat disebutkan nama-nama besar lain yang dulunya adalah anak langgar.

Keistimewaan anak langgar tampaknya perlu diulas lebih banyak di sini. Senakal-nakalnya anak langgar dia bisa dua hal: sembahyang dan mengaji. Selain ada juga yang terampil ilmu bela diri seperti silat. Keterampilan ini membuat anak langgar berani dan bertanggung jawab. Sementara kebiasaan anak langgar sembahyang dan mengaji membuat mereka baik hati. Berdasar semua ini, langgar harus dibangun lagi untuk hidup yang lebih harmoni dan berseni.

Untuk menghidupkan tradisi, tak ada salahnya dibangun kembali langgar. Semua tokoh masyarakat duduk bareng untuk memakmurkan langgar. Seperti dahulu dimana setiap menjelang maghrib anak-anak orang Betawi sudah ada di langgar. Ba’da Maghrib mereka menderes al-Qur’an dengan suara lantang di hadapan guru mengaji. Begitu juga pada setiap rumah orang Betawi, usai Maghrib mereka menderes di bawah remang lampu pelita. Menderes dalam bahasa Betawi masih satu akar kata dengan da-ra-sa dalam bahasa Arab yang artinya membaca. Dari kata ini kemudian muncul diksi “tadarusan”.

Sebagai masyarakat islami, orang Betawi menggunakan serapan kata bahasa Arab yang tak terhitung jumlahnya. Mungkin dari sekian banyak bahasa terkenal di dunia seperti Inggris, China, dan Belanda, bahasa Arablah yang paling banyak diserap dalam ungkapan sehari-hari orang Betawi yang mungkin mereka sendiri tidak sadari. Untuk menyebut contoh yang banyak itu misalnya, ustadz, kitab, masjid, musahalla, daftar, nikah, hakim, mahkamah, majelis, ibadah dan seterusnya.

Untuk melestarikan kembali fungsi dan peran langgar dapat dipertimbangkan agar dilakukan beberapa hal. Pertama, semua mushalla hendaknya disebut sebagai langgar. Hal ini tampaknya berlebihan. Namun bagaimana pun pilihan kata “langgar” lebih memiliki akar budaya. Dalam sosiologi diungkap bahwa agama dapat dipelihara oleh budaya. Faktanya memang agama dan budaya selalu beriringan. Misalnya, idul fitri dan lebaran, silaturahmi dan mudik, bershalawat dan mendendangkannya.

Kedua, orang Betawi harus kembali mendorong anak-anak mereka agar menjadi anak langgar guna mendapatkan pelajaran agama pada tingkat dasar. Langgar hari ini tentu tidak harus terbuat dari kayu dan berada di pinggir kali. Langgar hari ini adalah langgar yang indah, berpendingin ruangan, berlampu terang, dan memiliki pengeras suara memadai. Dengan fasilitas yang lebih baik ini diharapkan akan lahir anak-anak langgar yang memanggul agama dan budaya. Sebab agama Islam dan budaya Betawi tidak bisa dipisahkan.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *