Oleh Murodi al-Batawi
Dalam bahasa Betawi, permainan silat disebut Maen Pukulan. Tapi jangan salah memahaminya. Maen pukulan bukan berarti orang Betawi dengan seenak jidatnya mau pukul orang lain begitu saja, tanpa sebab. Kalau dipahami begitu, berarti orang Betawi suka kekerasan dan berkelahi. Suka bermusuhan dan mencari musuh. Padahal tidak seperti itu.
Orang Betawi sangat egaliter dan mau menerima siapa saja mau datang dan berkunjung ke rumah orang Betawi. Banyak cerita menarik dari beberapa teman yang baru datang ke tanah Betawi dari daerah, baik untuk sekolah, untuk bekerja atau untuk berdagang atau hanya mengadu nasib di tanah Betawi.
Mereka sering mengatakan orang Betawi itu sangat baik, ramah dan mau menolong. Bahkan orang Betawi dahulu mau menampung sementara mereka yang ingin mengadu nasib di tanah Betawi, Jakarta dan sekitarnya. Mereka diberikan fasilitas kamar dan tempat tidur serta makan, tanpa bayar sebelum mereka mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.
Bahkan kemudian banyak di antara mereka yang dijadikan menantu untuk dinikahkan dengan puterinya. Peristiwa seperti itu terjadi sebelum tumbuh berkembangnya kontrakan. Tapi jangan salah, jangan sesekali menipu, bermain curang nakal dengan orang Betawi. Akan dihajar habis.
Karena orang Betawi memiliki slogan, Ikan Bawal Ikan Teri. Ente Jual Ane Beli, bahkan bukan hanya satu yang dibeli, diborong semuanya. Artinya, kalau tidak jujur, bermain curang dan melakukan tindakan dan perilaku tak senonoh, atau menipu, habis diusir dari tempat tinggalnya dan dilarang kembali dan bertemu lagi.
Kalau masih berani menunjukkan batang hidungnya, baru dilakukan tindakan kekerasan, dengan cara adu kekuatan fisik. Adu kekuatan fisik ini dalam komunitas etnis Betawi sering disebut “Maen Pukulan “atau bahasa sekarang kemudian dikenal dengan debutan “Permainan Silat”.
Maen Pukulan atau Silat, merupakan cara orang Betawi mempertahankan diri dari serangan lawan. Karena itu, kita sering disajikan dengan tayangan bertajuk Silat, seperti Si Pitung, Si Ronda dan lain sebagainya, dalam tayangan tersebut berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Betawi dan tokohnya, baik perlawanan tehadap kolonial Belanda ataupun perlawanan dari pencurian atau perampokkan yang terjadi di wilayah Betawi.
Di situ pertunjukkan permaian Silat sangat kental sekali. Dengan kemampuan fisik dan kehebatan seseorang dalam perkelahian tersebut, menunjukkan bahwa “Maen Pukulan”sangat mengungguli setiap perkelahian. Dari situlah kemudian permaian Silat mengalami pertimbuhan dan perkembangan sampai saat ini.
Karena begitu memukaunya permainan Silat ini, akhirnya UNESCO, mengakui bahwa Silat merupakan Warisan Budaya tak Benda pada 2019 di Bogota, Colombia yang ditetapkan dalam Sidang ke-14 Intergovermental Committee for the Safeguarding of the Intengible Cultural Heritage.
Karenanya wajar kalau kini dan seterusnya, tradisi Maen Pukulan ini diwiriskan pada generasi penerus bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Betawi.
Terbentuknya Maen Pukulan Betawi
Tidak dikatahui dengan pasti kapan saat lahirnya Maen Pukulan atau Silat Betawi. Namun hal pasti yang dapat dikatakan di sini bahwa ada tiga etnis besar yang berpengaruh bagi terbentuknya Maen Pukulan di Betawi. Pertama etnis Cina. Kedua etnis Jawa Cirebon dan etnis Sunda Banten, dan ketiga etnis Melayu Sumatera dan Bugis. Komunitas etnis masyarakat ini memberikan kontribusi besar dalam pembentukan tradisi Maen Pukulan.
Masing-masing daerah memiliki tradisi bela diri kemudian mereka padukan dengan tradisi masyarakat Betawi. Tradisi ini lahir pada 19 April 1932. Sejak saat itu, Maen Pukulan Betawi mengalami perkembangan signifikan, terutama pada saat penjajahan Belanda. Orang Betawi banyak melakukan perlawanan dengan menggunakan tangan kosong dan ada juga yang menggunakan golok.
Mereka menyebut Belanda dengan sebutan Kompeni, yang diambil dari kata Compagni atau VOC ( Verinidge Oast Indchie Compagni). Mereka seringkali berhadapan dengan kompeni dan pasukannya, Demang dan anak buahnya. Demang menggunakan pasukan pribumi yang juga memiliki keahlian Silat. Akhirnya yang bertarung adalah pribumi anti Kompeni dengan pribumi pro Kompeni. Mereka saling adu kekuatan fisik dan keterampilan Maen Pukulan.
Ragam Maen Pukulan Betawi
Secara keseluruhan, ketetapan UNESCO ibi tidak hanya dikhusukan untuk Silat dari tanah Betawi, tetapi ada beberapada daerah yang masih memelihara tradisi tersebut. Di antaranya, Pencak dari Jawa Barat, Silat Si Bandrong dari Banten, Silek Minang dari Sumatera Barat, Silek Tigo Bulan dari Riau, Silat Beksi dan Cingkrik dari DKI Jakarta (Betawi), dan masih banyak lagi Maen Pukulan dari Betawi; seperti Mustika Kwitang, Pusaka Djakarta, Troktok, dan Sabeni Tenabang.
Dalam artikel ini hanya akan menjelaskan dua jenis atau ragam Silat Betawi, seperti Silat Beksi dan Cingkrik saja. Karena kedua ragam Silat ini lebih mengandalkan kecepatan, kecekatan tangan dan kaki. Mereka para pesilat ini siap bertarung meski di tempat sempit sekalipun.
Silat Beksi
Silat Beksi konon ceritanya diambil dari bahasa Tiong hoa ; yaitu Bie Sie. Bie artinya pertahanan dan Sie artinya empat. Artinya pertahanan dari empat penjuru. Ada yang berpendapat bahwa penemu aliran Beksi ini seorang Cina peranakan, bernama Lie Tjeng Hok(1854-1951).
Lie Tjeng Hok menggabungkan bela diri keluarganya dengan ilmu dari para guru Silat di Betawi dan mengajarkannya pada masyarakat Cina Benteng di sekitar Kampung Dadap, Kota Tangerang. Kemudian aliran silat ini menyebar ke daerah Petukangan Selatan dan daerah Batu Jaya, Batu Cepet, Tangerang.
Cingkrik
Seni Silat bela diri ini betasal dari daerah Rawa Belong. Tokoh si Pitung seting disebut sebagai pahlawan Betawi yang memulai maen pukulan ini di Rawa Belong. Ragam Silat ini yang masih ada hingga sekarang adalah Cingkrik Goning dan Cingkrik Sinan. Dua nama tokoh yang masih mempertahankan tradisi maen pukulan Betawi ini.
Kedua Cingkrik ini masih bertahan hingga kini dan dilanjutkan oleh TB. Bambang Sudradjat, sebagai penerus Cingkrik Goning. Sementara Cingkrik Sinan terus bertahan di daerah Rawa Belong dan dilanjutkan oleh Bang Bachtiar.
Sedang di daerah Bekasi masih ada penerus Maen Pukulan ini dan dilanjutkan oleh Guru Tholib yang mengajarkan Silat atau Maen Pukulan Betawi. Keberlanjutan tradisi ini perlu dilestarikan oleh masyarakat Betawi.
Bagi masyarakat Betawi, hanya dua diksi atau dua kata yang bisa menyelamatkan dan membahagiakan mereka; di dunia dan akhirat; yaitu Shalat dan Silat. Shalat akan menyelamatkan mereka di kehidupan akhirat kelak, dan Silat akan menyelamatkan kehidupan mereka di dunia. InsyaAllah. (Odie)
Pamulang, 20 April 2024
Murodi al-Batawi