Oleh: Syamsul Yakin, Penulis Buku Milir
Dalam pandangan sebagian orang Betawi “guru gede” itu bukan guru besar alias profesor. Guru besar sendiri di tanah Arab disebut ustadz (al-Ustaadz). Sementara ustadz di tanah Betawi adalah guru madrasah. Guru gede tidak dikontrakan dengan guru kecil. Itulah moralitas orang Betawi. Bahkan frasa tersebut tidak pernah dikenal. Guru adalah guru, tidak ada yang kecil. Namun guru gede ada.
Guru gede adalah sebutan untuk mubaligh yang diundang untuk memberi ceramah dalam perhelatan hari besar Islam. Misalnya, Maulid dan Isra Mikraj. Tempatnya di masjid terbesar pada komunitas Betawi. Umumnya disebut sebagai masjid jami’ atau masjid yang digunakan untuk shalat Jum’at. Misalnya Masjid Jami’ al-Ikhlas di kawasan Parung Bingung kota Depok yang saat ini berdiri megah dekat masjid Kubah Emas.
Kehadiran guru gede pada peringatan hari besar Islam sangat dinanti, terutama Maulid. Sebulan sebelum kedatangannya, masyarakat gegap-gempita. Orang Betawi membuat persiapan penuh. Mereka menghias masjid, memperbaiki jalan, dan menambah penerangan. Seperi memasang obor di kiri-kanan jalan. Mereka juga menangkap ikan di empang. Memanen palawija di sawah. Memetik kelapa di kebun. Mereka membuat paros dan kisa dari daun kelapa.
Guru gede dalam pandangan orang Betawi adalah mubaligh terkenal yang ceramah di radio dan televisi. Untuk mengundang guru gede minimal harus tiga bulan sebelum acara. Yang datang mengundang haruslah orang terpandang di kampung. Umumnya orang Betawi berembuk berkali-kali saat mengundang guru gede. Mulai rapat pembentukan panitia, pra pelaksanaan, dan pelaksanaan.
Guru gede yang diundang saat pelaksanaan tidak langsung ditempatkan di masjid. Tapi diistirahatkan dulu di rumah orang Betawi yang rumahnya paling gedong dan paling dekat dengan masjid. Para panitia inti, para ustadz setempat dan tokoh masyarakat mengerumuni guru gede dengan takzim. Mereka yang menemani guru gede adalah orang gedean pada masyarakat Betawi. Di rumah ini pula nanti guru gede akan beramah tamah dan makan-minum bersama seusai acara.
Kabar kehadiran guru gede diketahui luas hingga tetangga kampung. Tak heran banyak orang dari berbagai kampung berduyun-duyun datang. Kendati dilaksanakan pada malam hari. Apalagi memang pada sore harinya, selepas Ashar panitia membuat umbruk keliling kampung dengan menggunakan semacam mobil komando yang biasa dipakai demo. Bedanya, umbruk hanya menyiarkan bahwa akan datang guru gede dengan menggunakan pengeras suara lengkap dengan bedug.
Orang Betawi pernah melahirkan guru gede. Salah satunya adalah dai berjuta umat KH. Zainuddin, MZ. Beliau memiliki semua kualifikasi untuk disebut sebagai guru gede oleh orang Betawi. Kendati orang Betawi sendiri sering kali tidak kebagian dengan orang lain saat hendak mengundang beliau. Namun di luar itu, perlu dipelajari bagaimana caranya agar orang Betawi dapat melahirkan guru gede lagi seperti beliau? Apakah cukup dibiarkan saja terlahir secara alami atau harus dipersiapkan sejak dini?
Guru gede dari kalangan perempuan lahir juga pada komunitas masyarakat Betawi. Yang paling mengakar dan dikenal sebagai singa podium adalah Ustadzah Suryani Taher. Setiap kehadirannya, ditunggu dan disesaki tidak saja oleh kalangan perempuan. Semua orang tertarik menyaksikan ceramahnya yang menggebu. Vokalnya jelas, retorikanya menarik, gayanya eksentrik.
Hingga tulisan ini dibuat belum ada guru gede yang dianggap dapat menyamai ketenaran Ustadzah Suryani Taher. Untuk itu perlu menjadi kajian bersama, bagaimana caranya melahirkan singa podium seperti beliau? Tentu kita percaya, setiap guru gede ada masanya dan setiap masa ada guru gedenya. Namun dua guru gede yang menjadi contoh dalam tulisan ini belum ada yang menggantikan.
Guru gede tampaknya lahir dari masyarakat mendengar dan berbicara ketimbang dari masyarakat membaca dan menulis. Inilah tampaknya hambatan budaya melahirkan guru gede. Pada masanya, seorang guru gede bisa eksis di tengah masyarakat mendengar dan berbicara. Namun hari ini seiring perubahan yang begitu deras dan menggilas siapapun yang kalah bersaing, masyarakat Betawi sudah bertransformasi menjadi masyarakat membaca dan menulis.
Tentu mempersiapkan diri untuk menjadi guru gede pada masyarakat mendengar dan berbicara itu lebih mudah. Daya kritis mereka berbeda dengan masyarakat membaca dan menulis. Berdakwah pada masyarakat berbicara dan mendengar yang diutamakan adalah retorika rekreatif. Sementara berceramah pada masyarakat menulis dan membaca yang harus disuguhkan adalah retorika edukatif.
Untuk itu para calon guru gede harus terus mengamati perubahan zaman dan perkembangan teknologi komunikasi yang terus melaju. Kalau dahulu seorang guru gede lahir dan dibesarkan oleh media lama, seperti radio dan televisi, saat ini guru gede baru dapat muncul apabila eksis di media sosial. Sederet contoh bisa disebutkan untuk ini. Saat ini guru gede tidak akan jadi guru gede apabila tidak melek literasi digital, tidak memiliki tim media, dan tidak tampil saban hari di dunia maya.
Tak dapat disangkal, orang Betawi harus melahirkan guru gede lagi. Kebutuhannya sangat mendesak (extremelly urgent). Pertama, untuk menjadi motivasi dan inspirasi generasi masyarakat Betawi yang kian terdesak. Kedua, guru gede adalah penjaga moral yang masih dipandang secara karismatik di tengah arus modernisasi yang terus menggerusnya.
Tak berlebihan kalau para tokoh agama masyarakat Betawi duduk bersama mencari solusi mengenai masalah ini. Sebagai permulaan, mungkin dapat dibuat Lembaga Dakwah Betawi (LDB) yang menaungi para mubaligh Betawi. Semoga dari lembaga ini akan muncul lagi guru gede dari tanah Betawi yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tuntunan Islam. Tentu apabila harapan ini jadi nyata, secercah cahaya terang bersinar di langit Betawi.*