Oleh : Murodi al-Batawi
Bagi masyarakat Betawi yang sangat religius, selalu berharap generasi penerus orang tuanya mampu memiliki ilmu pengetahuan agama Islam. Karena itu, semua anaknya disekolahkan di Madrasah, Dininyah dan Madrasah Ibtidaiyah sampai Madrasah Aliyah. Selesai lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, mereka kemudian di kirim ke Pondok Pesantren Tradisional dan Pondok Modern. Mereka mondok untuk menjadi santri dan melanjutkan pendidikan mulai dari MTs (Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah). Usai mondok, banyak di antara mereka yang melanjutkan studinya ke Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Syria, Irak, Yordania, Mesir, Tunisia, al-Jazair, Sudan hingga Maroko. Mereka melanjutkan studi S1,S2 dan S3. Jika selesai, umumnya menjadi tenaga pengajar di Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Bahkan banyak juga di antara mereka yang menjadi Ustadz fi tempat tinggal mereka masing-masing atau di Masjid dan Mushalla yang sengaja dibuatkan oleh orang tua mereka agar mereka mengisi pengajian di tempat tersebut. Dengan jama’ah penduduk sekitar atau jama’ah yang sengaja berniat mendatanginya untuk mencari ilmu. Mereka dahulu semua adalah para santri, yang pernah mondok di salah satu pondok di Indonesia.
Menjadi Santri:
Sebuah Pengalaman Mengasyikan.
Menjadi santri sekarang tidak mengasyikan, menurut anak muda zaman sekarang. Beda pada zaman dahulu, menurut para santri yang sudah tidak muda lagi. Menjadi santri itu sangat mengasyikan, meski banyak sekali tantangan dan ketidaknyamanannya. Tulisan ini hanya sekadar berbagi pengalaman untuk mereka yang mau menjadi santri.
Saat menjadi santri dahulu, sekira tahun 70 an, waktu yang penuh dengan momen suka dan duka serta bernilai sejarah. Suka, karena kita dipertemukan dengan kawan baru dari berbagai daerah di tanah air. Belajar bersama. Bermain dan bahkan tidur juga bersama dalam barak, kamar atau Kobong. Kita digembleng mandiri dan terus mencari serta belajar ilmu untuk bisa hidup mandiri di kemudian hari.
Dukanya atau tidak enaknya saat tidak punya uang. Menunggu uang kiriman dari orang tua, lama gak datang2. Karena kemungkinan besar, orang tua juga tidak punya uang. Jadi belum bisa kirim uang, Sedih, memang. Habis mau bagaimana lagi. Di tahun itu, belum ada tukang penghantar surat atau kiriman lainnya, termasuk wesel ke pesantren saya yang cukup terpencil di daerah Cijurai, Tegal Panjang, Sukaraja, Sukabumi, perbatasan dengan daerah Cianjur, Jawa Barat. Akhirnya, untuk menyambung hidup, makan seadanya. Kadang, bahkan seringnya, kami ngutang di warung Ceu Odah, Mang Afud dan lainnya. Dibayarnya saat dapat kiriman uang.
Saat itu, memang terasa sulit sekali. Makan dan tidur ala kadarnya. Makan, masak nasi sendiri. Pakai kastrol. Di pinggir kompor ditaruh ikan asin dan terasi. Nasi mateng, ikan dan terasi juga mateng. Langsung diambil dan ditaruh di atas daun pisang atau piring kaleng. Meski panas, langsung diembat. Dimakan. Lauknya ikan asin dan terasi. Semua itu terasa nikmat sekali. Terlebih ditambah sambal terasi dan lalaban daun singkong, daun pepaya atau daun genjer. Boleh dibilang, saat itu, semua makanan tak bergizi baik. Tapi, itulah kenyataan hidup sebenarnya ketika hidup sebagai seorang santri Pondok Pesantren.
Untungnya, Pondok Pesantren saya di pedesaan, dekat dengan persawahan yang dikelilingi perbukit an nan hijau. Untuk menambah gizi, kadang seminggu 2 atau 3 kali saya mencari belut di malam hari. Lumayan buat perbaikan gizi. Selesai mencari belut, kami olah seperti digoreng untuk lauk makan malam dengan nasi liwet yang enak sekali. Itu kami lakukan sehabis ngaji dan belajar bersama di malam hari sekira pukul 23.00-24.00. Larut malam, memang. Tapi itulah waktu yang kami miliki untuk bisa melakukan hal ini.
Hal yang paling menyenangkan kalau diundang tahlilan, acara maulid atau isra mi’raj oleh masyarakat sekitar pondok. Kita ikut zikir bersama. Mendengarkan ceramah. Makan bersama. Terkadang, pulang dibungkusin buat dimakan lagi di kamar.
Kalau tidur, juga ala kadarnya. Tidur di atas tikar di atas bale bambu atau papan kayu. Dingin hembusan udara malam di tengah perbukitan. Tidur tidak nyenyak, karena banyak Tumila (bangsat). Badan habis korengan karena selalu digaruk akibat gigitan tumila (bangsat). Dan ini pasti dirasakan oleh para santri.
Hal menarik lainnya soal mandi. Kalau mau mandi, kita harus antre. Sebelum subuh, sekitar pukul 3.30 pagi, kita sudah dibangunkan siap-siap pergi ke masjid untuk persiapan Shalat Subuh berjama’ah. Sebelum itu, kita sudah mandi. Sebab, kalau kesiangan, kita harus antre. Kalau siang hari, kami biasa mandi di sungai yang airnya masih sangat jernih. Hampir setiap hari kami mandi di sungai dekat Pondok Pesantren.
Pernah suatu ketika, saat mandi berbarengan dengan bebek. Kita mandi dari air saluran yang akan masuk ke kolam, bebek di saluran itu mencari makan, mandi dan buang kotoran. Jadi gak bersih mandinya dan badan gatel-gatal jadinya.
Meski cukup perih menanggung beban di pesantren, tapi, semua itu merupakan pelajaran berharga dan momen penting dalam meniti kehidupan. Belajar Kitab Kuning dan buku-buku klasik lainnya menjadi kegiatan rutin. Melalu metode Sorogan, Wetonan atau Bandongan, kami belajar. Dan alhamdulillah, berkat bimbingan Kyai/ Ajengan serta para asatidz, ilmu itu kami peroleh sebagai bekal buat kehidupan di kemudian hari.
Bisanya, saya dan kawan-kawan santri lainnya mengkaji ulang secara berkelompok materi yang diperoleh dari Kyai dan para asatidz di malam hari. Dan itu kami lakukan setelah pengajian malam, sekitar pukul 22-24 malam hari, sehingga kami betul-betul paham materi dari kitab yang kami kaji.
Dan saat melanjutkan studi lebih lanjut, kuliah, misalnya, tampaknya semua yang diajarkan di lembaga pendidikan tradisional tersebut, sudah dipelajari di pesantren. Jadi, gak mulai dari awal. Tinggal pendalaman saja.
Ada hal menarik dari pengalaman saat nyantri di Pondok Pesantren, tidak ada bullying. Semua santri memiliki posisi dan status yang sama. Tidak ada senioritas-junioritas. Bahkan, saling bantu dan mengingatkan. Jika kita punya masalah, baik masalah dalam bidang keuangan maupun materi pelajaran. Saling bantu dalam mengatasi masalah tersebut.
Untuk itu, ijinkan kami mengucapkan banyak Terima Kasih kepda para Kyai/Ajengan dan para asatidz serta para sahabat santri lainnya yang telah membimbing, mengarahkan dan menggembleng kami, dan teman belajar yang asyik, hingga kami menjadi manusia mandiri dan bermanfaat untuk umat, bangsa dan negara.
Terima Kasih Kyai/Ajengan dan para Asatidz, yang telah mengajari kami berbagai ilmu agama dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Mengajari kami kemandirian, kesabaran dan keikhlasan untuk kehidupan masa depan saya lebih baik lagi.
Insyaalah, semua itu bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Amiin.
Kini, para santri itu sudah menjadi pengabdi dan penyebar ilmu. Dan banyak sahabat santri yang sudah lebih dahulu menghadap Allah swt. Sementara ada Kyai, ajengan dan para asatidz, yang telah berjuang keras mengajari kami, telah berpulang ke rahmatullah. InsyaAllah Husnul Khatimah dan Surga tempat mereka semua.
Untuk itu, izinkan saya mendo’akan mereka melalui pembacaan Qs al- Fatihah.
( لهم الفاتحة)Lahum al-fatihah
SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL.
22 OKTOBER 2024.